Search

Friday, May 21, 2010

PERANAN PENINGKATAN KARIR TERHADAP KESEJAHTERAAN KARYAWAN


A. Peranan Peningkatan Karir demi Kesejahteraan karyawan yang harus diperhatikan

Karyawan adalah modal utama bagi setiap perusahaan. Sebagai modal, karyawan perlu dikelola agar tetap merupakan modal yang produktif. Karyawan yang memiliki loyalitas dan dedikasi yang tinggi serta memiliki pengalaman dan potensi dalam bidang pekerjaannya merupakan mitra utama penting dan salah satu faktor penunjang keberhasilan perusahaan dalam menjalankan perusahaan. Untuk dapat mempertahankan karyawannya, terutama mereka yang memiliki prestasi yang tinggi. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh perusahaan adalah dengan memberikan program kesejahteraan. Karena seorang karyawan akan bekerja dengan sungguh-sungguh apabila kebutuhannya telah terpenuhi. Program kesejahteraan yang akan dilaksanakan dapat berupa tunjangan-tunjangan dan fasilitas pelayanan secara gratis. Dimana diharapkan dengan program ini dapat menumbuhkan suatu kepuasan yang tinggi dari karyawan serta akan menimbulkan semangat kerja secara optimal sehingga peningkatan produktivitas kerja tercapai.

Para pengusaha harus memperhatikan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenyamanan kerja dan upah yang layak. Di dunia usaha, pengusaha membutuhkan karyawan untuk mendorong perkembangan bisnisnya. Karyawan bekerja, keuntungannya jelas kepada pengusaha, dan imbal baliknya, pengusaha harus memperhatikan kesejahteraan karyawan. Sangat pantas jika pengusaha memberikan upah standar sesuai UMP/UMK yang ditetapkan pemerintah. pengusaha hendaknya jangan mementingkan keuntungan pribadi saja, tapi harus menerapkan UU ketenagakerjaan dengan memberikan upah layak dan membuat perjanjian kerja.

Setiap perusahaan menginginkan karyawannya memiliki loyalitas dan motivasi kerja yang tinggi dalam melaksanakan pekerjaannya. Tetapi untuk meningkatkan loyalitas tidaklah mudah, loyalitas merupakan sikap mental yang ditunjukkan pada perusahaan. Loyalitas timbul dari diri karyawan itu sendiri, hal tersebut berasal dari kesadaran bahwa antara karyawan dengan perusahaan merupakan dua pihak yang saling membutuhkan, karyawan membutuhkan perusahaan sebagai tempat mencari sumber penghidupan dan pemenuhan kebutuhan social.
Peningkatan Karir harus ditandai dengan adanya Kompetisi dalam bekerja dan Motivasi dalam bekerja.


B. Motivasi Kerja

Keinginan berkompetisi tumbuh melalui dorongan motivasi berprestasi kerja pada karyawan. Menurut Mc.Clelland (1987) jika seseorang memiliki motivasi berprestasi maka ia akan berusaha untuk mengungguli orang lain, berprestasi sesuai dengan standar, dan berjuang untuk sukses. Mereka juga mempunyai hasrat untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik atau efisien daripada yang dilakukan sebelumnya.

Memotivasi seorang karyawan tentu saja tidak terlepas dari usaha pihak organisasi untuk meningkatkan ketrampilan karyawan. Di Inggris, tuntutan untuk memperbaharui atau menambah ketrampilan karyawan kini menjadi agenda politik (Dale, 2003). Sebagai contoh, National Council for Vocational Qualification (NCVQ) dibentuk untuk memfokuskan kembali fungsi pelatihan untuk meningkatkan ketrampilan yang berkaitan dengan kerja dan membuat standar kualifikasi yang sesuai dengan kebutuhan bisnis demi pencapaian suatu produktivitas kerja karyawan yang baik.

Perusahaan didorong untuk melatih karyawan sesuai dengan tuntutan pekerjaan, bukan mempelajari apa yang seharusnya tidak perlu dipelajari. Lembaga pendidikan NCVQ kini mulai bekerja sama dengan dengan organisasi bisnis untuk bisa menghasilkan lulusan yang mampu bekerja dan memiliki ketrampilan.

Selain itu perusahaan juga didorong untuk melakukan pelatihan para karyawannya. Gerakan Investor in People (Dale, 2003) bertujuan mendorong organisasi untuk memastikan bahwa karyawannya secara sistematis dilatih dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan organisasi. Telah diakui bahwa salah satu sebab buruknya kinerja dan lemahnya daya saing ekonomi Inggris adalah kelalaian para pemberi kerja dalam pembelajaran.
Selain itu, banyaknya orang yang telah lama dan sering menganggur menyebabkan hilangnya ketrampilan, termasuk kemampuan belajar, yang telah mereka kuasai sebelumnya. Banyak ketrampilan yang telah mereka miliki menjadi ketinggalan jaman karena terjadinya perubahan teknologi dan cara kerja.

Pedler, dkk (Dale 2003) mengatakan bahwa organisasi pembelajar adalah sebuah organisasi yang memfasilitasi pembelajaran dari seluruh anggotanya dan secara terus menerus mentransformasikan diri. Hal ini sejalan dengan pendapat Farago dkk. (Munandar, 2003) yang mengatakan bahwa organisasi adalah tempat berjalannya suatu proses yang berkesinambungan dalam tujuannya meningkatkan kemampuan diri dan orang-orang yang terlibat didalamnya.
Ditambahkan lagi oleh Farago, dkk. (Munandar 2003) bahwa organisasi pembelajar akan mengarah pada: (1) Adaptif terhadap lingkungan eksternalnya; (2) Secara terus menerus menunjang kemampuan untuk berubah; (3) Mengembangkan baik pembelajaran individual maupun kolektif; dan (4) Menggunakan hasil pembelajarannya untuk mencapai hasil yang terbaik.

Keseluruhan aspek yang dikemukakan oleh Farago mengarah pada keinginan untuk selalu memperhatikan kondisi lingkungan disekitarnya dalam tujuan untuk memperbaiki kinerja dan mengamati kinerja orang lain. Keinginan untuk maju dan terus belajar menjadi kunci tujuan organisasi pembelajar.

Dari sisi jumlah individu organisasi pembelajar dapat dilihat dari bentuk kerja sama dalam kelompok maupun dalam bentuk personal yang mengarah pada aspek persaingan. Persaingan yang dimunculkan oleh individu karyawan dalam usaha meningkatkan kinerja inilah yang sebenarnya menjadi topik yang menarik karena pada dasarnya manusia memiliki dorongan untuk bersaing yang dimunculkan dari motivasi berprestasinya.
Dari uraian di atas maka ingin dilihat sejauh mana dampak dari penerapan organisasi pembelajaran terhadap keinginan karyawan untuk berkompetisi melalui pengembangan diri yang optimal. Kemampuan karyawan dalam mengembangkan diri akan menumbuhkan motivasinya untuk bersaing dan memberikan yang terbaik bagi perusahaan.


C. Kompetisi Kerja

Bernstein, Rjkoy, Srull, dan Wickens (1988) mengatakan bahwa kompetisi terjadi ketika individu berusaha mencapai tujuan untuk diri mereka sendiri dengan cara mengalahkan orang lain. Menurut Sacks dan Krupat (1988) kompetisi adalah usaha untuk melawan atau melebihi orang lain. Sedangkan menurut Hendropuspito (1989) persaingan atau kompetisi ialah suatu proses sosial, di mana beberapa orang atau kelompok berusaha mencapai tujuan yang sama dengan cara yang lebih cepat dan mutu yang lebih tinggi.

Wrightsman (1993) mengatakan bahwa kompetisi adalah aktivitas dalam mencapai tujuan dengan cara mengalahkan orang lain atau kelompok. Individu atau kelompok memilih untuk berkompetisi tergantung dari struktur reward dalam suatu situasi. Salah satunya adalah Competitive reward structure dimana tujuan yang dicapai seseorang memiliki hubungan negatif, artinya ketika kesuksesan telah dicapai oleh satu pihak maka pihak lain akan mengalami kekalahan. Hal ini disebut Deutsch’s (Wrightsman, 1993) sebagai Competitive Interdependence.
Setiap individu pada umumnya dikuasai nafsu bersaing. Menurut Teori Seleksi dari D.C. Ammon (Hendropuspito, 1989), berdasarkan pada teori Darwin dan Spencer, sejak dahulu makhluk hidup didorong oleh alamnya sendiri untuk melewati proses seleksi menuju ke keadaan yang makin sempurna. Melalui perjuangan hidup makhluk hidup yang lemah tersingkir dari kehidupan dan yang kuat terus bertahan melewati proses seleksi baru.


C.1 Persaingan mempunyai beberapa fungsi positif, yaitu :

  1. Persaingan merupakan pendorong yang positif bagi manusia dan masyarakat untuk terus-menerus mencapai tahap-tahap kemajuan yang makin tinggi.
  2. Dengan persaingan orang didorong untuk memusatkan perhatian dan pikiran, tenaga dan sarana untuk mencapai hasil yang lebih baik daripada hasil yang dicapai kini, bahkan hasil terbaik di antara orang-orang lain.
  3. Semangat persaingan mendorong orang untuk membuat penemuan-penemuan baru yang mengungguli penemuan orang lain
C.2 Faktor-faktor Mempengaruhi Kompetisi Kerja :

1. Jenis Kelamin

Penelitian tentang perbedaan antara pria dan wanita telah banyak dilakukan. Banyak perbedaan yang telah ditemukan, baik dari segi fisik, kepribadian maupun dalam perilaku kerja. Ancok, Faturochman & Sutjipto (1988) mengatakan bahwa salah satu penyebab mengapa wanita kemampuannya lebih rendah dibandingkan pria adalah anggapan bahwa sejak kecil wanita memang lebih rendah dari pria.
Stereotipe peran jenis mengatakan bahwa pria lebih kompetitif dibandingkan wanita. Wanita lebih bersifat kooperatif dan kurang kompetitif (Ahlgren, 1983). Keadaan ini disebabkan adanya perasaan takut akan sukses yang dimiliki wanita serta konsekuensi sosial yang negatif yang akan diterimanya. Bila wanita sukses bersaing dengan pria, mungkin akan merasa kehilangan feminimitas, popularitas, takut tidak layak untuk menjadi teman kencan atau pasangan hidup bagi pria, dan takut dikucilkan (Dowling, dalam Arnold & Davey, 1992).
Anggapan tersebut didukung oleh penelitian bahwa sikap kooperatif lebih tinggi pada wanita dan sikap kompetitif lebih tinggi pada pria (Ahlgren & Johnson, dalam Ahlgren, 1983).

2. Jenis Pekerjaan

Gibson (1996) mengatakan bahwa kompetisi akan terjadi pada pekerjaan-pekerjaan dimana terdapat insentif, bonus atau hadiah.. Kompetisi secara luas dapat diterima pada pekerja white collar dan juga pada pekerja tingkat manajerial, yaitu mereka yang berada pada tahap tingkat pekerjaan minimal staf.

3. Tingkat Pendidikan

Liebert & Neake (1977) berpendapat bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi pemilihan pekerjaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka keinginan untuk melakukan pekerjaan dengan tingkat tantangan yang tinggi semakin kuat. Harapan-harapan dan ide kreatif akan dituangkan dalam usaha penyelesaian tugas yang sempurna (Caplow, dalam As’ad, 1987). Ide yang kreatif merupakan simbol aktualisasi diri dan membedakan dirinya dengan orang lain dalam penyelesaian tugas serta kualitas hasil.

4. Promosi Karir

Berdasarkan penyelidikan di negara-negara barat, ternyata gaji hanya menduduki urutan ketiga sebagai faktor yang merangsang orang untuk bekerja. Sedangkan faktor yang paling utama di dalam memotivisir orang bekerja adalah rasa aman dan kesempatan untuk naik pangkat (promosi) dalam pekerjaanya (Anoraga, 2001).
Rosenbaum & Turner (Dreher, dkk. 1991) mengatakan bahwa pengalaman-pengalaman individu pada awal bekerja dimana ia mampu mengalahkan rekan kerjanya dalam perolehan pengetahuan, keahlian dan informasi akan memberi dampak positif bagi kecerahan prospek karirnya.
Dijelaskan bahwa adanya dukungan dari perusahaan, terutama orang-orang sebagai sponsorship yang memberikan arahan akan mendorong karyawan untuk lebih berhasil dalam pencapaian karir selanjutnya. Sponsor atau yang dikenal dengan mentor memberikan informasi tentang karir, kesempatan yang diperoleh dalam usaha pengembangan pribadi, dan memberikan konseling karir bagi mereka (David & Newstrom, 1989).

5. Umur

Gellerman (1987) berpendapat bahwa para pekerja muda pada umumnya mempunyai tingkat harapan dan ambisi yang tingi. Mereka mempunyai tantangan dalam pekerjaan dan menjadi bosan dengan tugas-tugas rutin. Mereka tidak puas dengan kedudukan yang kurang berarti. Hal ini juga terjadi pada pekerja usia menengah. Status menjadi sesuatu yang penting. Pada usia inilah mereka akan ditentukan apakah sukses atau tidak. Sebaliknya, di usia lanjut, kompetisi biasanya dielakkan karena menurunnya stamina.

6. Sosial Ekonomi

Arnold (Freedman, Sears, & Carlsmith, 1981) berpendapat bahwa adanya bonus yang diberikan pihak perusahaan bagi mereka yang dianggap berprestasi merupakan tendensi alami untuk berkompetisi. Bonus yang diberikan umumnya berupa uang, dan sangat mempengaruhi keinginan individu untuk berkompetisi meraihnya. Atkinson (Mc. Clelland, 1987) berpendapat bahwa semakin tinggi ganjaran uang, semakin tinggi pula performansi, terutama saat munculnya kesempatan untuk meraih kemenangan.

7. Masa Kerja

Para pekerja usia menengah dengan pengalaman kerja yang cukup sangat mementingkan status. Pada usia ini sangatlah menentukan apakah mereka akan sukses selanjutnya atau tidak. Kesuksesan diperoleh melalui keinginan berkompetisi dalam pencapaian tujuan, karena pada tingkat usia menengah mereka telah sampai pada tahap pemeliharaan karir.
Usaha mempertahankan dan meningkatkan karir dilakukan dengan menunjukkan prestasi kerja sebaik-baiknya. Prestasi kerja meningkat sejalan dengan bertambahnya pengalaman dalam penyelesaian tugas (Ghiselli & Brown, 1955; Blum & Nayer, 1968).
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa keinginan untuk melakukan kompetisi dalam kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor yang bersifat eksternal dan internal. Jenis kelamin, umur, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, masa kerja, promosi karir, dan keinginan untuk meningkatkan status sosial ekonomi sangat mempengaruhi keinginan seseorang untuk berkompetisi.
Perbedaan antara pria dan wanita berdasarkan penelitian merupakan hal mendasar yang membedakan keinginan untuk berkompetisi. Karakteristik pribadi yang dimiliki wanita lebih mengarahkan mereka menghindari konflik danpersaingan.


8. Organisasi Pembelajar (Learning Organization)

Istilah organisasi pembelajar sebagian berasal dari gerakan “In Search of Excellence” dan selanjutnya digunakan oleh Garrat (Dale, 2003). Namun Geoffrey Holland (Dale, 2003) selanjutnya menyatakan bahwa “jika kita mau bertahan hidup secara individual atau sebagai perusahaan, ataupun sebagai bangsa kita harus menciptakan tradisi perusahaan pembelajaran.”
Statemen-nya ini mengacu pada usaha mencari contoh-contoh praktek terbaik sehingga organisasi pembelajar bisa dijiplak dan diperbanyak. Kondisi ini justru menyebabkan perusahaan-perusahaan berusaha mencari contoh dari perusahaan yang berhasil. Dengan kata lain mereka berusaha mencari organisasi yang paling sempurna untuk dicontoh tanpa menyadari bahwa tidak ada bentuk organsiasi yang seperti itu.

No comments:

Post a Comment