Search

Friday, May 21, 2010

TINGGI RENDAHNYA UPAH MEMPENGARUHI TINGKAT KEDISIPLINAN KARYAWAN


A. PENGERTIAN UPAH TENAGA KERJA
Rata Penuh
Upah Tenaga Kerja

Pemberian upah kepada tenaga kerja dalam suatu kegiatan produksi pada dasarnya merupakan imbalan/balas jasa dari para produsen kepada tenaga kerja atas prestasinya yang telah disumbangkan dalam kegiatan produksi. Upah tenaga kerja yang diberikan tergantung pada:
a) Biaya keperluan hidup minimum pekerja dan keluarganya.
b) Peraturan undang-undang yang mengikat tentang upah minimum pekerja (UMR).
c) Produktivitas marginal tenaga kerja.
d) Tekanan yang dapat diberikan oleh serikat buruh dan serikat pengusaha.
e) Perbedaan jenis pekerjaan.

Upah yang diberikan oleh para pengusaha secara teoritis dianggap sebagai harga dari tenaga yang dikorbankan pekerja untuk kepentingan produksi. Sehubungan dengan hal itu maka upah yang diterima pekerja dapat dibedakan dua macam yaitu:

1) Upah Nominal
Upah Nominal yaitu sejumlah upah yang dinyatakan dalam bentuk uang yang diterima secara rutin oleh para pekerja.

2) Upah Riil
Upah Riil adalah kemampuan upah nominal yang diterima oleh para pekerja jika ditukarkan dengan barang dan jasa, yang diukur berdasarkan banyaknya barang dan jasa yang bisa didapatkan dari pertukaran tersebut.
Teori Upah Tenaga Kerja
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dalam hal upah dan pembentukan harga uapah tenaga kerja, berikut akan dikemukakan beberapa teori yang menerangkan tentang latar belakang terbentuknya harga upah tenaga kerja.

Teori Upah Wajar (alami)

Teori ini menerangkan (David Ricardo) : - Upah menurut kodrat adalah upah yang cukup untuk pemeliharaan hidup pekerja dengan keluarganya.- Di pasar akan terdapat upah menurut harga pasar adalah upah yang terjadi di pasar dan ditentukan oleh permintaan dan penawaran. Upah harga pasar akan berubah di sekitar upah menurut kodrat.

B. PANDANGAN BERBEDA TENTANG UPAH

Menurut Rivai (2005 : 375)”Upah adalah sebagai balas jasa yang adil dan layak diberikan kepada para pekerja atas jasa-jasanya dalam mencapai tujuan organisasi”. Upah merupakan imbalan finansial lansung yang dibayarkan kepada karyawan berdasarkan jam kerja, jumlah barang yang dihasilkan atau banyaknya pelayanan yang di berikan. Jadi tidak seperti gaji yang jumlahnya relatif teta p, upah dapat berubah-ubah. Konsep upah biasanya dihubungkan tenaga proses pembayaran bagi tenaga kerja lepas.
Menurut Ruky (2001 : 7) “ upah adalah PP No 8 tahun 1981 suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada tenaga kerja untuk suatu pekerjaa n atau jasa yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapka menurut persetujuan atau perundang undangan dan dibayarkan atas suatu perjanjian kerja antara pengusaha ( pemberi kerja ) dengan pekerja termasuk tunjangan baik untuk pekerja sendiri maupun keluarganya.

Masalah yang dapat timbul dalam bidang pengupahan adalah bahwa pengusaha dan pekerja pada umumnya mempunyai pengertian dan kepentingan yang berbeda mengenai upah. Bagi pengusaha, upah dapat dipandang sebagai beban atau biaya yang harus dibayarkan kepada pekerja dan diperhitungkan dalam penentuan biaya total. Semakin besar upah yang dibayarkan kepada pekerja, semakin kecil proporsi keuntungan bagi pengusaha.
Segala sesuatu yang dikeluarkan oleh pengusaha sehubungan dengan mempekerjakan seseorang dipandang sebagai komponen upah, misalnya uang tunai, tunjangan, pengangkutan, kesehatan, konsumsi yang disediakan dalam menjalankan tugas, pembayaran upah waktu libur, cuti dan sakit, fasilitas rekreasi. Dilain pihak, pekerja dan keluarganya menganggap upah hanya sebagai apa yang diterimanya dalam bentuk uang (take‐home pay) sebagai penghasilan menggunakan tenaganya kepada pengusaha.

Pada kenyataan menunjukkan bahwa hanya sedikit pengusaha yang secara sadar dan sukarela dan terus menerus berusaha meningkatkan kehidupan karyawannya, terutama pekerja golongan rendah. Dilain pihak pekerja melalui serikat pekerja dan atau dengan mengundang campur tangan pemerintah selalu menuntut kenaikan upah. Tuntutan seperti itu yang tidak disertai dengan peningkatan produktivitas kerja akan mendorong pengusaha :
(1) mengurangi penggunaan pekerja dengan menurunkan produksi;
(2) menggunakan tekhnologi yang lebih padat modal; dan
(3) menaikkan harga jual barang yang kemudian mendorong inflasi.

Masalah yang lain yang dihadapi dalam bidang pengupahan dewasa ini adalah rendahnya tingkat upah dan pendapatan masyarakat. Banyak pekerja yang berpenghasilan rendah, bahkan lebih rendah dari kebutuhan fisik minimum. Hal ini akan menyebabkan rendahnya produktivitas dan kinerja pekerja.

Menurut Suwarto (2003), bahwa bagi pekerja, upah merupakan sumber pendapatan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, sesuai dengan tujuan seseorang bekerja, maka melalui peningkatan upah kesejahteraan seseorang dapat ditingkatkan. Sebab apabila upah semakin besar, maka makin besar pula peluang seseorang untuk dapat memenuhi dan memperbaiki tingkat hidupnya, seperti pemenuhan kebutuhan akan sandang, pangan, papan, kesehatan, rekreasi dan lainnya. Sementara itu bagi pengusaha, upah merupakan biaya produksi. Oleh karenanya, setiap terjadi peningkatan upah maka akan terjadi peningkatan biaya.


C. TINGKAT UPAH DAN TINGKAT KINERJA KARYAWAN

Penilaian kinerja merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kinerja karyawan, karena dengan penilaian kinerja akan diketahui seberapa baik seseorang telah bekerja sesuai dengan sasaran yang ingin dicapainya. Selain itu umpan balik dari penilaian kinerja akan memotivasi karyawan untuk bekerja, mengembangan kemampuan pribadi dan meningkatkan kemampuan dimasa yang akan datang (Racmawati,2004: 39)
Berbagai rangsangan faktor motivasi kerja dapat meningkatkan kinerja karyawan, pada umumnya manusia bekerja pada suatu perusahaan mempunyai tujuan untuk mendapatkan upah guna memenuhi kebutuhan hidupnya dengan terpenuhinya kebutuhan karyawan maka akan tercipta suasana kerja yang menyenangkan dilingkungan perusahaan. Mengingkat faktor tenaga kerja merupakan faktor yang terpenting dalam pelaksanaan proses produksi maka diperlukan tenga kerja yang mempunyai ketrampilan dan keahlian demi kelangsungan hidup perusahaan. Agar tenaga kerja yang digunakan perusahaan dapat bekerja dengan baik, maka hendaknya pimpinan perusahaan harus memperhatikan segala kebutuhan yang berhubungan dengan karyawan, perusahaan perlu memberikan perhatian lebih terhadap keberadaan karyawan agar loyalitas karyawan terhadap perusahaan juga tinggi (Sumartini, 2005).

Upah dapat digunakan sebagai alat untuk memotivasi karyawan untuk meningkatkan prestasi kerja mereka dan merangsang karyawan untuk berperan aktif dalam peran pencapaian tujuan perusahaan. Selain itu upah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan. Upah merupakan suatu penerimaan sebagai suatu imbalan dan pemberian jasa kepada penerima jasa. Untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dan akan dilakukan yang berfungsi sebagai jaminan kelangsungan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan produksi yang dinyatakan atau dinilai dalam uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan undang-undang dan peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi kerja dan penerima kerja (Heidjarahman dan Husnan, 1997 : 61)

Sistem upah dirasakan adil dan kompetitif oleh karyawan, maka perusahaan akan lebih mudah untuk menarik pekerja yang potensial, mempertahankannya dan memotivasi agar lebih meningkatkan kinerjanya, sehingga produktivitas meningkat dan perusahaan mampu menghasilkan produk dengan harga yang kompetitif, yang pada akhirnya, perusahaan bukan hanya unggul dalam persaingan, namun juga mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya, bahkan mampu meningkatkan profitabilitas dan mengembangkan usahanya. Upah cenderung mempengaruhi secara langsung motivasi dan kepuasan kerja akan membentuk kinerja yang baik, selanjutnya dengan kinerja yang baik dari pekerja pada gilirannya akan mempengaruhi efisiensi dan provitabilitas perusahaan.

Dalam manajemen sumberdaya manusia, upah sebaiknya dilihat sebagai investasi atau human investment. Sebagai human investment, kenaikan upah atau kesejahteraan tenaga kerja dapat dilihat sebagai perbaikan atau peningkatan kualitas sumberdaya manusia atau pekerja, yang hasilnya akan diperoleh kemudian. Apabila perbaikan kesehatan dan gizi, perbaikan keterampilan melalui tambahan pendidikan, latihan, perbaikan disiplin, peningkatan semangat kerja, dan adanya ketenangan kerja, akan mendorong naiknya produktivitas dan kinerja pekerja.

Selanjutnya dengan adanya semangat dan gairah kerja yang tinggi, maka rasa tanggung jawab, dedikasi, dan kreativitas inovasi dapat pula diharapkan meningkat. Sebaliknya, usaha menekan upah serendah mungkin, sering terbentur pada hal‐hal yang dapat mengganggu jalannya proses produksi perusahaan, selain dapat mengakibatkan unjuk rasa, pemogokan, keresahan dan sikap apatis, hal ini bertentangan pula dengan UU RI No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya mengenai pemberian upah minimal, dalam hal ini Upah Minimum Propinsi (UMP) dan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK).

Dalam hubungannya antara upah dan kinerja, Gibson (1996), mengemukakan bahwa salah satu yang mempengaruhi kinerja individu yang sangat kuat adalah sistem balas jasa/upah organisasi atau perusahaan. Organisasi dapat menggunakan balas jasa/upah untuk meningkatkan kinerja saat ini, juga untuk menarik pekerja yang terampil untuk bergabung dalam organisasi atau perusahaan. Dalam hal ini aspek upah menjadi penting, karena penghargaan (upah) akan menjadi efektif jika dihubungkan dengan kinerja secara nyata (Noe, 2000). Strategi upah yang efektif diharapkan dapat memberikan sumbangan pada terpeliharanya kelangsungan hidup satuan kerja, terwujudnya visi dan misi dan untuk pencapaian sasaran kerja.

D. UPAH MINIMUM REGIONAL DAN KESEMPATAN KERJA

Munculnya ketentuan upah minimum akan mendorong terjadinya distorsi dalam pasar tenaga kerja. Artinya dengan ketentuan upah minimum, maka buruh mempunyai kekuatan monopoli yang cenderung melindungi buruh yang telah bekerja dalam industri itu. Kekuatan serikat buruh yang cenderung memaksimumkan pendapatan dari buruh yang ada akan mendiskriminasi pendatang baru dalam pasar tenaga kerja. Pandangan serupa valid dalam kondisi di mana perusahaan tidak mempunyai kekuatan monopsoni untuk menekan buruh. Jika ada monopsoni dalam pasar tenaga kerja, maka pengaruh ketentuan upah minimum dapat mendorong peningkatan kesempatan kerja.

Model lain yang sejalan dengan model neoklasik adalah model dual economy yang mengasumsikan perekonomian (pasar tenaga kerja) tersegmentasi menjadi sektor formal dan sektor informal. Penetapan upah minimum akan mengurangi permintaan tenaga kerja di sektor formal (atau dalam model yang dinamis, minimal akan mengurangi tingkat penciptaan lapangan kerja).
Kelebihan penawaran tenaga kerja ini akan diserap sektor informal yang tingkat upahnya tidak diatur oleh regulasi, yang pada gilirannya akan mengurangi tingkat upah. Jika pangsa tenaga kerja di sektor informal lebih rendah, maka dampak distribusi pendapatannya akan justru memburuk. Keadaan ini akan lebih buruk jika kenaikan upah mendorong kenaikan tingkat inflasi. Buruh di sektor formal akan diuntungkan dalam pengertian, kenaikan tingkat inflasi dapat di-offset oleh kenaikan upah nominal. Tetapi, buruh yang bekerja di sektor informal-yang mengalami penurunan tingkat upah nominal-bernasib seperti pepatah "sudah jatuh tertimpa tangga pula".

Kondisi ini adalah keadaan ekstrem, karena dalam faktanya tidak demikian. Kenaikan upah minimum-minimal dalam jangka pendek-akan mendorong permintaan terhadap barang-barang produksi domestik termasuk produksi sektor informal. Hal ini disebabkan karena buruh cenderung mengonsumsi barang domestik dibandingkan barang impor.

Teori lain yang berseberangan dengan teori neoklasik adalah efficiency wage theory. Dalam pandangan teori ini, penetapan upah minimum memungkinkan tenaga kerja meningkatkan nutrisinya sehingga dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitasnya. Peningkatan upah juga memungkinkan buruh untuk menyekolahkan anaknya dan memberi nutrisi yang lebih baik bagi anak-anaknya. Keduanya dalam jangka panjang akan memberi dampak yang besar terhadap peningkatan produktivitas. Tetapi, bagaimana mengatasi masalah penyerapan tenaga kerja dalam jangka pendek (masa transisi), karena dampak peningkatan nutrisi terhadap produktivitas membutuhkan waktu?
Pandangan teori ekonomi neoklasik sejalan dengan temuan empirik baru yang dihasilkan SMERU Research Institute dan Direktorat Ketenagakerjaan Bappenas. Ditemukan ;

(i) hanya 40 persen unit usaha di Indonesia yang membayar upah sesuai ketentuan upah minimum;
(ii) kenaikan upah minimum mempunyai hubungan negatif terhadap kesempatan kerja di sektor formal perkotaan. Setiap 10 persen kenaikan upah minimum mempunyai asosiasi dengan pengurangan kesempatan kerja 1,1 persen;
(iii) kenaikan upah minimum lebih dinikmati buruh terdidik (white collar workers) dibanding buruh tidak terdidik (blue collar workers) karena perusahaan cenderung melakukan substitusi antartenaga kerja dan antara tenaga kerja dan mesin.

Masalah lain adalah metode perhitungan upah minimum regional. Pertama, ada perbedaan nyata dari produktivitas antarsektor. Sektor-sektor yang menggunakan buruh terdidik umumnya telah membayar upah jauh di atas upah minimum karena hal ini mencerminkan produktivitas sektoralnya. Tetapi, banyak sektor lain yang produktivitasnya ada di bawah upah minimum sehingga kebijakan ini akan memukul sektor ini yang umumnya adalah sektor padat karya.

1 comment: