Sistem Moneter Paska Perang Dunia II, yang dikenal dengan sistem Bretton Woods, umumnya dipandang sebagai Sistem Moneter yang menghasilkan stabilitas sehingga dua puluh lima tahun pertama sesudah Perang Dunia II dianggap sebagai thegolden years. Sistem moneter yang dirancang di desa Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat pada tanggal 1 – 22 Juli 1944 tersebut pada intinya memang ingin menjaga stabilitas moneter global dengan menciptakan Sistem Nilai Tukar Tetap. Dalam hal ini, nilai tukar masing-masing negara dikaitkan dengan nilai Dolar AS sebagai anchor. Sementara itu nilai Dolar AS kemudian dikaitkan dengan emas, dimana setiap 1 ounce emas dihargai sebesar 35 Dolar AS. Sistem Moneter tersebut kemudian dijaga oleh International Monetary Fund (IMF) yang dibentuk dalam persidangan di Bretton Woods tersebut bersama-sama dengan Bank Dunia (International Bank for reconstruction and Development atau IBRD) dan lembaga perdagangan dunia yang akhirnya menjelma menjadi General Agreement on Tariffs and Trades (GATT) beberapa tahun kemudian.
Oleh karena itu, membicarakan gejolak moneter dalam Sistem Bretton Woods tampaknya seperti mencari jarum ditengah tumpukan jerami. Namun demikian, setelah melihat berbagai peristiwa dalam kurun waktu tersebut secara lebih mendalam, ternyata banyak juga kasus yang bisa dikategorikan sebagai gejolak, meskipun sifatnya tidaklah bersifat sistemik tetapi lebih bersifat lokal. Dua gejolak moneter yang penting yang terjadi selama kurun waktu 25 tahun tersebut adalah proses konvertibilitas Pound Sterling dan krisis moneter Amerika Serikat yang berujung pada berakhirnya Sistem Bretton Woods tanggal 15 Agustus tahun 1971.
Gejolak yang pertama, dan ini ternyata berlangsung cukup lama, adalah terjadinya penyesuaian perekonomian Inggris sebagai konsekuensi dari berubahnya mata uang internasional dari Pound Sterling ke Dolar AS. Sebagaimana diketahui, sebelum berlangsungnya Perang Dunia II, Inggris adalah merupakan sebuah negara adidaya yang pengaruhnya sangat dirasakan dihampir sudut-sudut dunia. Pengaruh yang sedemikian besar tersebut akhirnya membuat mata uang Inggris, yaitu Pound Sterling, akhirnyamenjadi mata uang utama dunia, dimana bank-bank sentral di seluruh dunia banyak menggunakan mata uang tersebut sebagai cadangan devisa utama mereka.
Namun Perang Dunia II berhasil mengubah nasib negara tersebut. Inggris yang meskipun tidak berhasil dikalahkan oleh Jerman namun mengalami kemerosotan ekonomi yang cukup masif. Banyak sektor produksi yang berhenti atupun berubah fungsi menjadi penghasil mesin perang. Sementara itu Amerika Serikat relatif tidak banyak terganggu perekonomiannya selama Perang Dunia II, kecuali Pearl Harbour yang diserang Jepang, dan bahkan mengalami perkembangan yang pesat karena harus menyokong berbagai barang yang dibutuhkan para sekutunya di Eropa. Oleh karena itu, selesainya Perang Dunia II membuat ekuilibrium perekonomian global menjadi bergeser, dimana Amerika Serikat muncul sebagai kekuatan ekonomi yang sangat besar dan akhirnya menggeser peranan ekonomi Inggris. Keadaan inilah yang akhirnya menjadi warna perundingan di Bretton Woods, meskipun pada waktu itu delegasi Inggris dipimpin oleh John Maynard Keynes yang sangat kita kenal.
Dengan ditetapkannya Dolar AS sebagai anchor currency, maka cadangan devisa berbagai negara di dunia harus digeser menjadi lebih banyak Dolar AS nya dibanding dengan Pound Sterling. Keadaan ini menyebabkan harus dilakukannya proses konvertibilitas4 Pound Sterling kedalam Dolar AS di berbagai negara. Keadaan ini menjadi beban yang sangat berat bagi perekonomian Inggris. Untuk membantu proses tersebut, Amerika Serikat kemudian memberikan pinjaman kepada Inggris dalam bentuk mata uang Dolar AS sejumlah lebih dari 3 milyar dolar. Namun demikian, jumlah tersebut pada akhirnya tidak dirasakan cukup oleh Inggris. Oleh karena itu, Inggris akhirnya meminta bantuan IMF pada bulan September 1947. Dengan demikian Inggris akhirnya menjadi negara pertama yang menjadi pasien IMF, sebuah status yang dewasa ini berkonotasi sangat menyakitkan tersebut.
Sementara itu, bantuan IMF untuk memperkuat cadangan devisa Inggris tersebut ternyata tidak mencukupi untuk memperbaiki situasi. Oleh karena itu IMF mengijinkan Inggris untuk melakukan devaluasi mata uangnya, yaitu dari 4,03 Dolar AS setiap Pound Sterling menjadi 2,80 Dolar AS.Langkah ini terjadi pada tanggal 18 September 1949. Langkah tersebut kemudian diikuti oleh puluhan negara yang juga melakukan devaluasi. Mengingat problem yang struktural yang dialami, maka Pound Sterling akhirnya kembali didevaluasi 18 tahun kemudian, yaitu dari 2,80 Dolar AS menjadi 2,40 Dolar AS setiap Pound Sterling. Inggris akhirnya kembali memiliki perekonomian yang kokoh pada saat dipimpin oleh Margaret Thatcher sebagai Perdana Menteri.
Gejolak yang kedua adalah terjadi pada negara yang menjadi anchor dari sistem Bretton Woods itu sendiri, yaitu Amerika Serikat. Negara yang mengalami beban yang berat oleh Perang Vietnam tersebut akhirnya merasakan betapa beratnya beban perekonomian mereka. Dalam hal ini Amerika Serikat mengalami twin deficits, mirip dengan apa yang dialami oleh negara tersebut saat ini. Bedanya, pada waktu itu Amerika Serikat adalah negara yang menjadi anchor sistem moneter dunia.
Dalam keadaan seperti itu, defisit neraca pembayaran yang besar menyebabkan cadangan devisa mitra (atau lebih tepat disebut lawan) dagangnya menjadi menumpuk dengan mata uang Dolar AS. Keadaan ini menjadi lebih diperburuk setelah harga emas meningkat tajam, jauh melebihi harga emas yang dikaitkan dengan nilai Dolar AS dalam Sistem Bretton Woods tersebut. Akhirnya ketimpangan ini menyebabkan beberapa negara untuk ”berpikir nakal”, yaitu menukarkan cadangan devisa mereka yang dalam mata uang Dolar AS dengan emas yang dimiliki Bank Sentral AS. Transaksi demikian, yang dimungkinkan dalam Sistem Bretton Woods, menyebabkan terjadinya aliran emas besar-besaran dari Fort Knox di Kentucky AS, tempat penyimpanan emas Bank Sentral AS tersebut, ke negara-negara Eropa. Bahkan pada satu saat, pengiriman emas ke Eropa tersebut dilakukan dengan pesawat angkut yang dikawal pesawat tempur AS.
Menghadapi ”serangan” yang sedemikian, Pemerintah Amerika Serikat akhirnya harus meminta tolong IMF. Amerika Serikat memperoleh bantuan IMF tersebut sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 1966 dan tahun 1968. Namun demikian, perkembangan yang terjadi terus memburuk. Pemerintah Amerika Serikat melihat, jika keadaan tersebut terus berlangsung, bukan tidak mungkin cadangan emas mereka akan habis sama sekali atau bahkan kurang untuk dapat memenuhi permintaan penukaran tersebut. Keadaan inilah yang akhirnya memaksa Presiden Nixon pada tanggal 15 Agustus 1971 untuk mendeklarasikan diputuskannya kaitan Dolar AS dengan nilai emas. Deklarasi ini pada akhirnya menjadi titik terakhir dari berlangsungnya Sistem Bretton Woods tersebut
Oleh karena itu, membicarakan gejolak moneter dalam Sistem Bretton Woods tampaknya seperti mencari jarum ditengah tumpukan jerami. Namun demikian, setelah melihat berbagai peristiwa dalam kurun waktu tersebut secara lebih mendalam, ternyata banyak juga kasus yang bisa dikategorikan sebagai gejolak, meskipun sifatnya tidaklah bersifat sistemik tetapi lebih bersifat lokal. Dua gejolak moneter yang penting yang terjadi selama kurun waktu 25 tahun tersebut adalah proses konvertibilitas Pound Sterling dan krisis moneter Amerika Serikat yang berujung pada berakhirnya Sistem Bretton Woods tanggal 15 Agustus tahun 1971.
Gejolak yang pertama, dan ini ternyata berlangsung cukup lama, adalah terjadinya penyesuaian perekonomian Inggris sebagai konsekuensi dari berubahnya mata uang internasional dari Pound Sterling ke Dolar AS. Sebagaimana diketahui, sebelum berlangsungnya Perang Dunia II, Inggris adalah merupakan sebuah negara adidaya yang pengaruhnya sangat dirasakan dihampir sudut-sudut dunia. Pengaruh yang sedemikian besar tersebut akhirnya membuat mata uang Inggris, yaitu Pound Sterling, akhirnyamenjadi mata uang utama dunia, dimana bank-bank sentral di seluruh dunia banyak menggunakan mata uang tersebut sebagai cadangan devisa utama mereka.
Namun Perang Dunia II berhasil mengubah nasib negara tersebut. Inggris yang meskipun tidak berhasil dikalahkan oleh Jerman namun mengalami kemerosotan ekonomi yang cukup masif. Banyak sektor produksi yang berhenti atupun berubah fungsi menjadi penghasil mesin perang. Sementara itu Amerika Serikat relatif tidak banyak terganggu perekonomiannya selama Perang Dunia II, kecuali Pearl Harbour yang diserang Jepang, dan bahkan mengalami perkembangan yang pesat karena harus menyokong berbagai barang yang dibutuhkan para sekutunya di Eropa. Oleh karena itu, selesainya Perang Dunia II membuat ekuilibrium perekonomian global menjadi bergeser, dimana Amerika Serikat muncul sebagai kekuatan ekonomi yang sangat besar dan akhirnya menggeser peranan ekonomi Inggris. Keadaan inilah yang akhirnya menjadi warna perundingan di Bretton Woods, meskipun pada waktu itu delegasi Inggris dipimpin oleh John Maynard Keynes yang sangat kita kenal.
Dengan ditetapkannya Dolar AS sebagai anchor currency, maka cadangan devisa berbagai negara di dunia harus digeser menjadi lebih banyak Dolar AS nya dibanding dengan Pound Sterling. Keadaan ini menyebabkan harus dilakukannya proses konvertibilitas4 Pound Sterling kedalam Dolar AS di berbagai negara. Keadaan ini menjadi beban yang sangat berat bagi perekonomian Inggris. Untuk membantu proses tersebut, Amerika Serikat kemudian memberikan pinjaman kepada Inggris dalam bentuk mata uang Dolar AS sejumlah lebih dari 3 milyar dolar. Namun demikian, jumlah tersebut pada akhirnya tidak dirasakan cukup oleh Inggris. Oleh karena itu, Inggris akhirnya meminta bantuan IMF pada bulan September 1947. Dengan demikian Inggris akhirnya menjadi negara pertama yang menjadi pasien IMF, sebuah status yang dewasa ini berkonotasi sangat menyakitkan tersebut.
Sementara itu, bantuan IMF untuk memperkuat cadangan devisa Inggris tersebut ternyata tidak mencukupi untuk memperbaiki situasi. Oleh karena itu IMF mengijinkan Inggris untuk melakukan devaluasi mata uangnya, yaitu dari 4,03 Dolar AS setiap Pound Sterling menjadi 2,80 Dolar AS.Langkah ini terjadi pada tanggal 18 September 1949. Langkah tersebut kemudian diikuti oleh puluhan negara yang juga melakukan devaluasi. Mengingat problem yang struktural yang dialami, maka Pound Sterling akhirnya kembali didevaluasi 18 tahun kemudian, yaitu dari 2,80 Dolar AS menjadi 2,40 Dolar AS setiap Pound Sterling. Inggris akhirnya kembali memiliki perekonomian yang kokoh pada saat dipimpin oleh Margaret Thatcher sebagai Perdana Menteri.
Gejolak yang kedua adalah terjadi pada negara yang menjadi anchor dari sistem Bretton Woods itu sendiri, yaitu Amerika Serikat. Negara yang mengalami beban yang berat oleh Perang Vietnam tersebut akhirnya merasakan betapa beratnya beban perekonomian mereka. Dalam hal ini Amerika Serikat mengalami twin deficits, mirip dengan apa yang dialami oleh negara tersebut saat ini. Bedanya, pada waktu itu Amerika Serikat adalah negara yang menjadi anchor sistem moneter dunia.
Dalam keadaan seperti itu, defisit neraca pembayaran yang besar menyebabkan cadangan devisa mitra (atau lebih tepat disebut lawan) dagangnya menjadi menumpuk dengan mata uang Dolar AS. Keadaan ini menjadi lebih diperburuk setelah harga emas meningkat tajam, jauh melebihi harga emas yang dikaitkan dengan nilai Dolar AS dalam Sistem Bretton Woods tersebut. Akhirnya ketimpangan ini menyebabkan beberapa negara untuk ”berpikir nakal”, yaitu menukarkan cadangan devisa mereka yang dalam mata uang Dolar AS dengan emas yang dimiliki Bank Sentral AS. Transaksi demikian, yang dimungkinkan dalam Sistem Bretton Woods, menyebabkan terjadinya aliran emas besar-besaran dari Fort Knox di Kentucky AS, tempat penyimpanan emas Bank Sentral AS tersebut, ke negara-negara Eropa. Bahkan pada satu saat, pengiriman emas ke Eropa tersebut dilakukan dengan pesawat angkut yang dikawal pesawat tempur AS.
Menghadapi ”serangan” yang sedemikian, Pemerintah Amerika Serikat akhirnya harus meminta tolong IMF. Amerika Serikat memperoleh bantuan IMF tersebut sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 1966 dan tahun 1968. Namun demikian, perkembangan yang terjadi terus memburuk. Pemerintah Amerika Serikat melihat, jika keadaan tersebut terus berlangsung, bukan tidak mungkin cadangan emas mereka akan habis sama sekali atau bahkan kurang untuk dapat memenuhi permintaan penukaran tersebut. Keadaan inilah yang akhirnya memaksa Presiden Nixon pada tanggal 15 Agustus 1971 untuk mendeklarasikan diputuskannya kaitan Dolar AS dengan nilai emas. Deklarasi ini pada akhirnya menjadi titik terakhir dari berlangsungnya Sistem Bretton Woods tersebut
No comments:
Post a Comment